Ketika sinar matahari mulai menyapa lembut bumi Bali, aroma dupa dan janur mulai memenuhi udara. Hari Raya Kuningan tiba sebuah perayaan sakral yang tak hanya menandai waktu, tapi juga mengikat manusia dengan leluhurnya dalam jalinan cinta dan bakti.
Kuningan dirayakan setiap 10 hari setelah Galungan, tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan dalam kalender Bali.
Hari ini dipercaya sebagai saat kembalinya para roh leluhur ke alamnya, setelah berkunjung selama Galungan. Karena itu, Kuningan menjadi waktu penuh penghormatan, pelepasan, dan syukur.
Banten-banten kecil, seperti yang tampak dalam foto nasi putih, nasi kuning, kadang merah dan hitam diletakkan di atas daun, tertata rapi dalam keheningan penuh makna.
Warna-warna itu bukan sekadar estetika; mereka melambangkan keberagaman hidup, keharmonisan alam semesta, dan persembahan kepada Sang Hyang Widhi serta roh suci leluhur.
Salah satu makna utama Kuningan adalah penyucian batin dan penguatan dharma (kebaikan). Masyarakat Bali percaya bahwa pada hari ini, Tuhan memberikan cahaya kebijaksanaan dan keteduhan bagi mereka yang tekun berdoa dan menjaga keseimbangan hidup.
Rumah-rumah dihias penjor kecil, upacara digelar di pura, dan suasana desa menjadi damai, seperti pelukan hangat dari langit.
Suara gamelan mengalun lirih, mengiringi doa-doa yang terucap dalam hening, membubung ke angkasa, berharap akan berkah, keselamatan, dan kehidupan yang seimbang.
Hari Raya Kuningan bukan sekadar tradisi, tapi cara umat Hindu Bali menyalakan kembali pelita cinta kepada leluhur, kepada bumi, dan kepada sesama.
Sebuah momen suci untuk kembali ke dalam diri menghaturkan terima kasih atas hidup, dan melepaskan dengan ikhlas apa yang telah usai.