Melampaui Lensa Perjalanan dan Perenungan Seorang Hotli

Hotli Simanjuntak bersama petinggi GAM Ishak Daud di markas Gerakan Aceh Merdeka.
Hotli Simanjuntak berfoto bersama petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Ishak Daud saat mendapat kesempatan meliput langsung di area markas kala itu

Lahir pada 15 Desember 1975 di Sipahutar, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Hotli Simanjuntak adalah putra Batak yang tumbuh menjadi salah satu jurnalis foto paling disegani di Indonesia.

Ia memulai pendidikan tingginya di Universitas Sumatera Utara (USU) dengan mengambil jurusan Sastra Jepang (DIII) pada 1995. Namun, takdir membawanya ke dunia fotografi jurnalistik yang kemudian menjadi jalan hidupnya.

Karier Awal dan Titik Balik di Aceh

Kariernya bermula pada 1999 sebagai fotografer di media lokal di Medan, di tengah riuhnya era Reformasi 1998.

Titik balik terjadi pada 2001, saat ia memutuskan pindah ke Aceh untuk meliput konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Di sana, ia bergabung dengan kantor berita internasional Agence France-Presse (AFP).

Meliput Konflik Nyawa di Ujung Lensa

Hotli tidak sekadar mengabadikan gambar ia menyelami konflik dengan segala risikonya dalam satu momen yang dikenangnya.

Ia nyaris tewas saat meliput pertempuran di Lhokseumawe (2004), ketika peluru menghantam tembok tepat di belakang tempat ia bersembunyi.

“Aku pucat! Dan berpikir, kali ini benar-benar akhir,” kenangnya. “Syukurlah, Tuhan masih menyayangiku hingga hari ini.”

Pohon kelapa yang selamat dari tsunami 2004 di Patek, Aceh.
Satu-satunya pohon kelapa yang selamat dari tsunami 2004 di Patek, Aceh, menjadi simbol keteguhan hati bagi Hotli Simanjuntak teguh dan tegar menghadapi hidup, apa pun yang terjadi

Ia juga menjadi saksi langsung tragedi tsunami Aceh 2004, saat itu, ia bekerja untuk stasiun televisi nasional seperti Global TV, TV7, dan Trans TV.

Sekaligus mendukung organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah Internasional dan Bank Dunia melalui pelatihan fotografi jurnalistik.

Penghargaan & Pengakuan Global

  • Merit Prize dalam Asian Photojournalist Competition oleh Yonhap (Korea)

  • Finalis Lomba Foto Nias Bangkit

  • Nominasi Diversity Award 2016 untuk kategori foto jurnalistik

Kini, Hotli tetap aktif sebagai fotografer di European Pressphoto Agency (EPA). Ia juga pernah menjadi kontributor The Jakarta Post, media berbahasa Inggris yang kini telah berhenti terbit akibat tergilas oleh perkembangan digital.

Selain itu, ia turut membagikan ilmunya sebagai dosen tamu fotografi jurnalistik di UIN Ar-Raniry, Aceh.

Melampaui Lensa Refleksi Seorang Pejuang Visual

Di balik segudang prestasi, tersimpan perenungan mendalam tentang makna perjalanan hidup:

Hotli Simanjuntak meliput Asian Games di Palembang.
Hotli Simanjuntak berfoto saat meliput ajang Asian Games di Palembang—sebuah momen penting dalam perjalanan jurnalistiknya

“Percayalah, semakin banyak kita melihat, mengalami, dan merenung, kita akan semakin bijak bersikap terutama setelah berkeluarga. Adrenalin liar masa muda lambat laun terkikis, berganti dengan rasa syukur: ‘Tuhan masih memberiku kesempatan bangun pagi, menghirup udara, dan memeluk orang-orang tercinta.’”


Baca juga:
🔗 Perjalanan Hidup dan Seni: Dua Dekade Fotografi Indonesia


Kiprah & Kemanusiaan

Hotli dikenal tak hanya lewat karya jurnalistiknya, tetapi juga melalui keterlibatannya dalam isu-isu sosial seperti pendidikan inklusif.

Kampanye anti-narkoba, dan perlindungan pekerja anak bekerja sama dengan organisasi seperti International Labour Organization (ILO).

Foto-fotonya bukan sekadar rekaman visual, melainkan kisah bisu yang lebih menggugah daripada ribuan kata.

Melalui pesan-pesan singkatnya, Hotli kerap menuliskan refleksi tentang perjalanan, perenungan, dan pengalaman hidup yang membentuk perspektifnya sebagai jurnalis.

Di balik setiap “klik” kamera, ada hati yang terus belajar menjadi manusia yang lebih utuh.

Aku Sebagai Jembatan Suara-Suara yang Terlupakan

Sebab pada akhirnya, pengakuan bukanlah tujuan utama. Kata “aku” dalam hidup bisa bermakna banyak.

Hotli Simanjuntak mendapat penghargaan internasional atas liputan hukum syariah di Aceh.
Hotli Simanjuntak mendapat special mention di situs internasional atas liputan hukum syariah di Aceh bukti bahwa jurnalisme tajam dan berani mampu menarik perhatian dunia

Ia bisa menjadi suara yang ingin didengar, atau sekadar sudut pandang yang hadir untuk memberi makna. Apakah “aku” butuh pengakuan? Mungkin. Tapi lebih dari itu, “aku” hadir karena suatu alasan.

Dan Hotli memilih menjadikan “aku”-nya sebagai jembatan bagi cerita-cerita yang tak terucap, suara-suara yang kerap terlupakan, dan wajah-wajah yang terpinggirkan dari berita utama.

Pesan untuk Generasi Muda

Hotli mewariskan prinsip-prinsip mendasar:

  1. Independensi: “Jangan pernah menjadi alat kepentingan pihak mana pun.”

  2. Empati: “Foto terbaik lahir dari kedekatan dengan subjek, bukan hanya dari teknik.”

  3. Keseimbangan: “Keberanian harus diimbangi dengan kebijaksanaan tahu kapan maju dan kapan mundur.”

Penutup Lensa yang Mengubah Dunia

Hotli Simanjuntak membuktikan bahwa jurnalisme bisa menjadi jembatan bagi mereka yang tak bersuara.

Dari Aceh hingga pengungsian Rohingya, karya-karyanya bukan hanya dokumentasi sejarah, tetapi juga pengingat akan kekuatan empati.

“Kita memotret bukan hanya dengan kamera, tapi dengan seluruh jiwa.”

Dan itulah warisan abadinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *