Di tengah maraknya kafe Instagramable dan kuliner viral yang datang silih berganti, jajan Bali tetap bertahan dengan segala kesederhanaannya.
Di sudut Jalan Nusa Kambangan, Denpasar, seorang ibu penjual dengan sabar membungkus bubuh injin, laklak, atau pisang rai menggunakan kertas coklat tanpa sentuhan kemasan modern, namun lapaknya tak pernah sepi pembeli.
Jajan tradisional ini bukan sekadar camilan, melainkan jembatan kenangan manisnya bubuh sumsum yang mengingatkan pada sarapan sebelum sekolah, atau aroma pandan dari laklak yang membawa ingatan pulang dari les sore.
Bagi banyak orang, membelinya kembali setelah belasan tahun terasa seperti “reuni dalam diam” tanpa banyak kata, cukup senyum dan rasa yang tak pernah berubah.
Baca juga:
π Wisatawan Asing Rela Antre Bersama Warga Lokal Demi Makanan Tradisional Bali di Pantai Sanur
Penjual seperti ibu ini tidak bergantung pada strategi digital, tanpa aplikasi pesan-antar maupun promosi di media sosial, lapaknya tetap bertahan berkat kejujuran rasa dan hangatnya interaksi.
Seperti kisah Putu Ayu, pelanggan setia sejak kecil yang kini memperkenalkan jajan yang sama kepada anaknya.
Baca juga:
π Pasar Tradisional: Gaya Hidup Baru Turis
Dalam kesahajaan yang melekat, jajan Bali adalah simbol ketahanan buday, ia mengingatkan kita bahwa di tengah dunia yang serba cepat.
Masih ada hal-hal yang patut dijaga agar tetap lambat disajikan dengan tangan, dibungkus dengan hati, dan dinikmati dengan penuh syukur.
“Modernitas boleh mengubah banyak hal, tetapi tidak dengan kenangan yang tertanam dalam sesuap jajan tradisional.”
Baca juga:
π Budaya Bali, Daya Pikat yang Tak Pernah Luntur
Mungkin suatu hari nanti, gerai-gerai ini akan semakin langka. Namun selama masih ada yang mencari rasa βpulangβ, jajan Bali akan tetap hidup dalam bungkus kertas coklat, senyum hangat penjual, dan gigitan pertama yang membawa kita kembali ke masa kecil.
Β
Lestari di hati, meski zaman terus berlari.