Sanur, Bali – Suasana hangat dan penuh kebersamaan tampak jelas di kawasan pantai Sanur.
Saat sejumlah wisatawan asing dengan antusias turut mengantre bersama masyarakat lokal untuk mencicipi makanan tradisional Bali yang dikenal dengan sebutan lumpiang dalam bahasa Bali.
Pemandangan seperti ini bukanlah hal yang biasa. Di tengah perbedaan latar belakang dan budaya, tak ada jarak yang terlihat.
Semua berdiri dalam antrian yang sama, menunggu giliran dengan sabar, menciptakan atmosfer kesetaraan dan rasa saling menghargai.
Anak-anak dari berbagai negara pun tampak penasaran, menyaksikan langsung proses penyajian makanan, menjadikan momen ini sebagai pengalaman lintas budaya yang mendalam, bukan sekadar mencicipi kuliner lokal.
Salah satu wisatawan asing yang sedang mengantri tampak berbicara santai kepada anaknya, hanya berkata, “Ita good,”.
Sebagai bentuk dukungan dan dorongan kepada sang anak untuk sabar menunggu, tanpa keluhan, mereka mengikuti antrian dengan tenang dan menikmati suasananya.
Menariknya, sang penjual sempat bertanya kepada pelanggan yang lebih dulu berada dalam antrian, “Boleh kami (wisatawan) duluan ya?” dan dengan ramah orang tersebut menjawab, “Silakan.”
Momen sederhana ini menciptakan suasana penuh kehangatan dan rasa saling menghormati di antara sesama pengantri lumpiang.
Baca juga:
🔗 Pasar Malam Tradisional Sanur: Surga Kuliner Bali
Harga lumpiang pun terbilang sangat terjangkau, mulai dari Rp5.000 hingga Rp15.000 per porsi.
Meski begitu, kebanyakan orang memilih membeli porsi Rp5.000 dalam jumlah banyak untuk kemudian dibagi bersama teman atau keluarga, memperkuat nilai kebersamaan dalam menikmati sajian tradisional ini.
Makanan tradisional ini, yang biasanya hanya muncul dalam acara adat atau upacara keagamaan, kini hadir menyapa siapa saja yang datang ke pantai.
Dengan aroma khas dari bahan-bahan lokal seperti daun pisang, parutan kelapa, dan rempah-rempah Bali, lumpiang sukses menarik perhatian pengunjung dari berbagai belahan dunia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kuliner bukan sekadar makanan, tetapi juga jembatan yang menghubungkan budaya dan manusia.
Wisatawan tidak hanya menjadi penonton, tetapi turut serta dalam dinamika kehidupan masyarakat Bali belajar, merasakan, dan terlibat langsung dalam tradisi yang hidup.
Kehangatan dan interaksi alami ini menjadi bukti bahwa Bali tak hanya memesona lewat keindahan alamnya, tetapi juga melalui kearifan lokal dan keterbukaan warganya dalam menerima siapa pun yang datang dengan hati terbuka.
Baca juga:
🔗 Pasar Tradisional: Gaya Hidup Baru Turis