Di tengah hiruk-pikuk dunia modern dan maraknya produksi tekstil massal, terdapat sebuah mahakarya yang tetap lestari dengan cara yang nyaris tak terjamah zaman.
Kain Tenun Tenganan Pegringsingan dari Desa Tenganan, Bali, bukan sekadar kain. Ia adalah simfoni kesabaran, ketelitian ekstrem, dan harmoni dengan alam, menjadikannya benar-benar tak tertandingi dalam keunikan proses pembuatannya.
Ini adalah salah satu dari sangat sedikit kain di dunia yang dibuat dengan teknik double ikat, sebuah proses yang bisa disebut “mengerikan” karena tingkat kerumitan dan lamanya waktu pengerjaan semuanya dilakukan secara manual dengan bahan-bahan alami.
Apa yang membuat Pegringsingan begitu istimewa? Jawabannya terletak pada teknik “double ikat” (ikat ganda).
Berbeda dengan tenun ikat biasa yang hanya mengikat benang lungsin (vertikal) atau benang pakan (horizontal), teknik double ikat mengharuskan kedua benang diikat dan dicelup secara terpisah dengan pola yang harus saling bersesuaian.
Bayangkan menyusun dua puzzle berbeda untuk lungsin dan pakan dengan pola yang sudah dirancang sedemikian rupa, diikat ketat untuk menolak warna, dicelup berulang kali, lalu ditenun menjadi satu.
Keajaiban hanya akan terjadi jika ikatan pada kedua benang itu bertemu secara presisi. Sedikit saja kesalahan, motif akan rusak.
Teknik ini sangat langka, hanya ditemukan di segelintir tempat di dunia seperti Jepang (Oshima), India (Pattola), dan tentu saja, Tenganan.
Baca juga:
🔗 Tradisi Perang Pandan Bali: Keindahan dan Kegemilangan Leluhur
Klaim “mengerikan secara manual” dan “tak ada saingan” bukanlah hiperbola. Mari menyelami tahapan pembuatan kain Pegringsingan yang bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun untuk selembar kain:
Semua berawal dari alam. Kapas dipintal secara tradisional. Pewarnaan dilakukan dengan bahan alami, menjadikan proses ini sebagai laboratorium alam:
Benang lungsin dipasang di alat tenun tradisional. Penenun biasanya perempuan ahli menyisipkan benang pakan sambil menyelaraskan pola.
Satu kain kecil bisa selesai dalam berbulan-bulan, sedangkan kain besar bisa memakan waktu hingga lima tahun.
Proses ini tak lepas dari nilai sakral dan adat Desa Tenganan. Kalender adat, awig-awig (aturan tradisional), dan kesucian spiritual menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Baca juga:
🔗 Perempuan Tenganan Pegringsingan dalam Pelestarian Budaya
Kain Pegringsingan bukan sekadar busana atau artefak. Ia adalah:
Menyebut Kain Tenun Tenganan Pegringsingan sebagai hasil “mengerikan secara manual” dan “tanpa saingan” bukanlah berlebihan.
Ia adalah buah dari dedikasi tanpa batas, keahlian yang diwariskan lintas generasi, dan dialog sunyi dengan alam dalam skala waktu yang tak lazim.
Setiap helainya adalah kisah yang ditenun oleh waktu warisan budaya tak benda yang tinggi nilainya, baik dari sisi keindahan, spiritualitas, maupun peradaban.
Menyaksikan atau memiliki selembar Pegringsingan adalah menyentuh sepotong sejarah yang hidup, bentuk nyata dari kesabaran manusia dan keajaiban alam yang disatukan dalam selembar benang.