Musim angin kembali tiba di Bali dan diperkirakan berlangsung hingga September. Pulau Dewata ini tidak hanya dikenal karena panorama alamnya yang memukau, tetapi juga karena kekayaan tradisi budayanya yang terus lestari.
Salah satu tradisi paling dinanti saat musim angin adalah layangan bukan sekadar permainan, melainkan simbol budaya, spiritualitas, dan kebersamaan masyarakat Bali.
Dalam rangka menyambut musim layangan, Pemerintah Kota Denpasar bersama Komunitas Rare Angon kembali menggelar Rare Angon Festival 2025.
Festival bertaraf internasional ini akan berlangsung pada 31 Juli–3 Agustus 2025 di Pantai Mertasari, Sanur.
Lebih dari sekadar kompetisi, festival ini menjadi panggung budaya dunia yang memadukan seni, aerodinamika, dan filosofi tradisional Bali.
Perwakilan dari 30 negara akan meramaikan langit Sanur dengan beragam layangan, baik tradisional maupun modern. Bali kembali menjadi titik temu budaya lokal dengan dunia internasional.
Baca juga:
🔗 Kite Festival Sanur: Ten One Nine Memukau Pengunjung
Bagi masyarakat Bali, layangan bukanlah sekadar hiburan. Tradisi ini mencerminkan hubungan spiritual antara manusia, alam semesta, dan para dewa.
Ia adalah bentuk rasa syukur, doa, serta harapan yang dituangkan dalam seni kolektif yang sarat makna.
Selama musim angin (Juni–September), langit Bali menjelma menjadi kanvas hidup. Layangan dengan berbagai bentuk dan ukuran menari di angkasa, menciptakan pemandangan yang memukau dan menghadirkan kegembiraan bagi semua kalangan.
Baca juga:
🔗 Layangan Janggan Jatuh ke Laut Saat Sunset di Jimbaran
Desa-desa di Bali rutin mengadakan lomba layangan, baik dalam skala kecil hingga besar, seperti Bali Kite Festival di Padang Galak dan Rare Angon Festival di Sanur.
Festival-festival ini bukan hanya menjadi ajang adu keindahan visual dan keterampilan teknik, tetapi juga ruang pelestarian identitas budaya serta sarana edukasi bagi generasi muda.
Setiap banjar (desa adat) mengirimkan tim terbaiknya, lengkap dengan iringan baleganjur yang menciptakan suasana magis saat layangan mengudara.
Dalam ajaran Hindu Bali, layangan dianggap sebagai persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Proses pembuatannya hingga penerbangan merupakan bentuk bhakti (pengabdian) wujud rasa syukur atas alam, panen, serta harmoni kehidupan.
Layangan menjadi media penghubung antara dunia sekala (nyata) dan niskala (spiritual).
Baca juga:
🔗 Tulak Tunggul: Jejak Spiritualitas dan Simbol Persatuan
Tradisi layangan menghadapi berbagai tantangan modern, seperti keterbatasan lahan terbuka, konflik dengan jaringan listrik dan jalur penerbangan, serta menurunnya minat generasi muda di era digital.
Namun, semangat pelestarian terus dijaga melalui:
Tradisi layangan di Bali merefleksikan kehidupan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai kebersamaan, spiritualitas, dan keindahan budaya.
Melalui Rare Angon Festival, dunia diajak menyaksikan keajaiban langit Bali sekaligus memahami filosofi mendalam yang terkandung dalam setiap layangan yang menari mengikuti irama angin.
Saat langit Mertasari dihiasi ribuan layangan dari berbagai penjuru dunia pada akhir Juli mendatang, itu bukan sekadar pertunjukan visual melainkan perayaan jati diri, warisan budaya, dan semangat kolaborasi lintas bangsa.