Catatan perjalanan, 2016
Bagi Moonstar, esensi dari pendakian Gunung Rinjani terletak pada satu pelajaran mendalam, gunung bukanlah sesuatu yang harus ditaklukkan.
Rinjani mengajarkannya tentang kerendahan hati, tentang indahnya menikmati setiap langkah dalam perjalanan lebih dari sekadar mengejar puncak.
Ia bahkan tak menyadari bahwa Rinjani termasuk dalam jajaran Seven Summits Indonesia, atau bahwa jalur Torean dikenal berbahaya.
Yang mendorongnya hanyalah dorongan hati keinginan untuk menyaksikan, mengabadikan, dan merasakan langsung keindahan yang selama ini hanya hidup dalam imajinasinya.
Gunung Rinjani, mahkota dari Seven Summits Indonesia dengan ketinggian 3.805 mdpl, dikenal sebagai medan berat yang menuntut fisik prima dan pengalaman memadai.
Namun, perjalanan Moonstar hadir dengan cara berbeda. Ia bukan pendaki profesional, hanya seorang fotografer yang membawa impian sederhana: memotret dan menikmati keindahan Rinjani.
Inspirasinya muncul dari cerita seorang teman yang pernah mencapai puncak. Dalam benaknya, Rinjani adalah surga visual tiap sudutnya menyimpan pesona yang layak diabadikan.
Baca juga:
π Gunung Rinjani: Pesona yang Memukau, Tantangan yang Mematikan
Perjalanan dimulai dari Pos Sembalun. Seorang diri, Moonstar memulai langkahnya, hingga akhirnya bertemu dua pendaki asal Jogja yang juga mendaki tanpa porter.
Mereka sepakat untuk berbagi perjalanan. Salah satu dari mereka bertubuh agak gemuk menyebut ini sebagai pendakian terakhirnya, sebuah nazar pribadi.
Ia didampingi sahabatnya yang lebih kuat secara fisik dan bertanggung jawab membawa sebagian besar logistik.
Moonstar sendiri, minim pengalaman, hanya membawa perbekalan seadanya termasuk beras dengan keyakinan polos:
βHanya dua hari satu malam, pasti cukup.β
Hari pertama pendakian berjalan penuh drama. Teman dari Jogja kerap meminta jeda istirahat. Akhirnya, mereka memutuskan bermalam lebih awal di Pos 1 dan mendirikan tenda di sana.
Keesokan paginya, Moonstar memilih melanjutkan pendakian seorang diri. Di Bukit Penyesalan tempat di mana keraguan sering menguji langkah pendaki ia bertemu sekelompok pemuda asal Bandung yang tengah menyeruput kopi.
Kesan akrab langsung terjalin karena latar belakang yang serupa Moonstar pernah menempuh studi di Bandung. Ia pun bergabung mendaki bersama mereka hingga Pos 3, pos terakhir sebelum puncak.
Β
Menjelang subuh, mereka memulai perjalanan ke puncak. Di titik ini, ujian sesungguhnya datang.
Dingin yang menggigit membuat tubuh Moonstar menggigil hebat, hampir menyerah karena gejala hipotermia.
Salah satu pemuda Bandung sigap menepuk pipinya, memberi semangat, dan terus menyemangatinya:
“Ayo, sedikit lagi! Jangan berhenti!”
Seruan itu menjadi nyala semangat. Dengan langkah lambat namun mantap, akhirnya Moonstar berhasil menginjakkan kaki di puncak Rinjani.
Semua rasa lelah, dingin, dan penderitaan terbayar lunas oleh panorama luar biasa yang membentang di hadapannya. Keindahannya jauh melampaui bayangan yang selama ini menghiasi benaknya.
Baca juga:
π Rinjani: Dalam Sunyi, Aku Menemukan Banyak Suara
Usai turun dari puncak, Moonstar kembali bertemu teman-temannya dari Jogja di basecamp.
Dari mereka, ia mendengar rencana rombongan Bandung untuk turun melalui jalur Torean dan bermalam di Danau Segara Anak. Tanpa pikir panjang, Moonstar ikut bergabung.
Danau Segara Anak menyambut mereka dengan keheningan dan keindahan yang memikat.
Ikan-ikan di danau mudah dipancing, bahkan salah satu pendaki dengan murah hati membagi hasil tangkapannya.
Malam itu, mereka bermalam di tepi danau, menikmati ketenangan di bawah langit Rinjani yang bertabur bintang.
Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan menuju air terjun tak jauh dari lokasi perkemahan.
Suasana saat itu lebih terasa seperti wisata alam ketimbang ekspedisi pendakian. Namun, ilusi itu segera sirna ketika mereka memasuki jalur Torean yang sebenarnya medan curam, sempit, licin, dan menantang.
Tanpa pengalaman yang cukup, Moonstar hanya bisa pasrah, mengikuti langkah rombongan, sepenuhnya menyerahkan diri pada proses.
Perjalanan pun molor. Mereka sempat tersesat dan akhirnya terpaksa bermalam lagi kali ini di tepi sawah milik warga.
Keesokan paginya, mereka baru menyadari bahwa lokasi berkemah mereka ternyata sangat dekat dengan pos terakhir.
Sekitar tengah hari, mereka tiba di titik turun dan menyewa mobil menuju Mataram, bersiap menyeberang kembali ke Bali.
Sebelum pulang, Moonstar menyempatkan diri berkeliling bersama rombongan Bandung untuk membeli oleh-oleh, sekaligus menyaksikan sekilas budaya Suku Sasak yang unik. Setelah itu, mereka menuju pelabuhan untuk kembali ke Pulau Dewata.
Kepulangan dari Rinjani membawa lebih dari sekadar foto-foto indah. Moonstar pulang dengan pemahaman baru yang mengakar bahwa gunung tidak untuk ditaklukkan.
Keindahan sejati, kekuatan, dan pelajaran hidup justru hadir melalui kerendahan hati saat menghadapi alam, dalam ketangguhan melewati rintangan, dalam hangatnya pertolongan dari orang-orang yang semula asing.
namun menjadi teman seperjalanan, serta dalam keheningan menikmati setiap momen proses.
Rinjani bukanlah akhir, tetapi titik balik yang mengubah cara pandangnya. Gunung itu tidak ditaklukkan oleh Moonstar.
Justru Rinjani-lah yang dengan lembut memeluk dan mengajarkannya makna sejati dari mendaki bukan soal menaklukkan, melainkan tentang merasakan.