Di jantung Kabupaten Gianyar, Bali, di sepanjang Jalan Udayana, Blah Batu, denting pahat berirama terdengar dari sebuah bengkel kayu.
Di sinilah Komang Mane (30 tahun), dengan tangan terampil dan mata penuh konsentrasi, mengukir kayu nangka (tewel) menjadi bagian-bagian gamelan Bali yang penuh nilai seni dan spiritual.
“Ukiran untuk gamelan ini proses kedua dalam pembuatan gamelan,” ujarnya, seraya menunjukkan sebuah panel kayu yang mulai menampilkan pola rumit.
Pesanannya saat ini 4 set gamelan lengkap, sebuah tugas besar yang membutuhkan ketekunan dan cinta.
Baca juga:
🔗 Kain Tenun Gringsing: Warisan Budaya Bali yang Tak Lekang Zaman
Komang bukanlah pemula, jejaknya dalam dunia ukir gamelan dimulai sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
“Memang kerjaan dari kecil.. dulu pulang sekolah mengerjakan ini,” kenangnya sambil tersenyum.
Saat itu, sepulang sekolah, tangannya sudah akrab dengan pahat dan kayu, belajar dari orang tua dan lingkungannya yang sarat tradisi kerajinan ukir.
Kini, aktivitas itu telah berubah menjadi pekerjaan penuh waktu, “Sekarang sudah full dari pagi.”
Untuk menyelesaikan satu bagian ukiran gamelan saja, Komang membutuhkan waktu sekitar 2 hari sebuah ritme kerja yang memadukan ketelitian dan kecepatan tangan terlatih.
Baca juga:
🔗 Penjaga Tradisi Sejak Dini: Peran Keluarga dalam Menanamkan Budaya Bali
Kayu nangka atau yang dikenal lokal sebagai kayu tewel, dipilih bukan tanpa alasan. Kayu ini dikenal memiliki serat padat dan kuat, mudah diukir namun cukup stabil untuk menghasilkan suara berkualitas saat menjadi bagian instrumen gamelan.
Proses pembuatannya pun tak sederhana, kayu harus dikeringkan bertahap (“dikeringkan, diukir lagi, dikeringkan lagi”) untuk menghindari retak dan memastikan keawetan.
Komang menjelaskan bahwa ukiran untuk gamelan bukan sekadar hiasan. Dalam konteks Bali, gamelan adalah instrumen sakral yang mengiringi upacara keagamaan (seperti ngaben atau potong gigi) maupun pertunjukan seni.
Ornamen pada badan gong, kendang, atau pencon tak hanya memperindah, tetapi juga menjadi simbol penghormatan terhadap alat yang menyuarakan doa dan narasi budaya.
Motifnya sering kali terinspirasi oleh alam dan mitologi Bali sulur-suluran, karang boma, atau tokoh epik yang diukir dengan teknik tatah (pahat) dan pupru (ukiran cekung) khas Bali, terutama gaya Gianyar yang dikenal detail dan simetris.
Baca juga:
🔗 Makna Bunga dalam Doa: Spiritualitas Hindu Bali
Tahun 2015–2017, Komang sempat mencoba peruntungan di sektor pariwisata modern, ia bekerja sebagai staf di sebuah hotel di Sanur.
Namun, jiwa seninya tak bisa diam. “Setelah itu, menurutnya ia lebih baik mengerjakan ukiran gamelan,” katanya. Alasannya multidimensi:
Baca juga:
🔗 Kisah Ibu Theresia: Perempuan Manggarai yang Menyulam Harapan Lewat Pendidikan
Meski pesanan sering datang seperti 4 set gamelan yang sedang dikerjakannya, Komang menyoroti masalah krusial yaitu regenerasi.
“Sekarang generasi untuk ukir sedikit, sementara orderan nya banyak,” ujarnya prihatin. Minat generasi muda terhadap kerajinan tangan tradisional menurun.
Mereka lebih tertarik bekerja di sektor pariwisata langsung (seperti hotel atau restoran) yang dianggap lebih “bergengsi” atau menghasilkan uang cepat.
Padahal, menurut Komang, potensi ekonomi ukir gamelan sangat menjanjikan jika ditekuni secara serius.
Orang tua Komang telah menjalani profesi ini sejak 2008 dan masih bertahan hingga kini. Namun, tanpa regenerasi, keahlian khusus seperti mengukir komponen gamelan yang berbeda dengan ukiran dekoratif biasa bisa punah.
Bengkel-bengkel kecil seperti milik keluarganya di Jl. Udayana menjadi benteng terakhir yang mempertahankan skill langka ini.
Baca juga:
🔗 Seni Lukisan dan Ukiran Marmer di Bali
Bagi Komang, mengukir gamelan adalah sintesis sempurna antara idealisme dan realita:
“Pertahankan budaya dan tradisi, tapi juga ada hasilnya ekonomis.” Ia tak ingin tradisi ini hanya jadi kenangan.
Upayanya juga sejalan dengan semangat pelestarian gamelan Bali secara luas, yang kini bahkan diusulkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO.
Meski jujur mengakui adanya fluktuasi ekonomi dengan mengatakan “Masih lancar dan jarang sepi” yang menandakan baginya pesanan cenderung stabil ketekunannya selama ini justru membuktikan bahwa jalur ini layak dipertahankan.
Ia merupakan perwujudan nyata generasi penerus tradisi, anak muda yang memilih kembali ke akar budaya bukan karena terpaksa, melainkan didorong keyakinan akan nilai dan masa depannya.
Baca juga:
🔗 Penjaga Tradisi Sejak Dini: Peran Keluarga dalam Menanamkan Budaya Bali
Di tengah deru modernisasi dan gempuran pariwisata massal, bengkel Komang Mane di Blahbatuh, Gianyar, adalah ruang sakral kecil.
Setiap goresan pahatnya tak hanya membentuk kayu, ia merajut benang merah antara masa lalu dan masa depan Bali.
Ketika gamelan hasil ukirannya ditabuh, bunyinya yang “meledak-ledak dan ritmenya cepat” tak hanya memenuhi ruang upacara atau panggung pertunjukan.
Tetapi juga menjadi bukti bahwa tradisi bisa hidup, bernapas, dan menghidupi selama masih ada tangan-tangan setia seperti Komang yang berani memilih jalan pulang untuk memastikan budaya tak lekang oleh zaman.
“Kita tak akan tahu hasilnya jika tak pernah mencoba,” kata Komang Mane (30).
Ia sudah mencoba dan pilihannya berkarya di bengkel Eka Ukir yang di media sosial bernama Pelawan Wood Carving, adalah bukti nyata tradisi gamelan Bali masih bersuara lantang, dimulai dari sebatang kayu nangka (kayu tewel) dan sebilah pahat di Jl. Udayana, Blahbatuh, Gianyar.