Pembangunan Masif di Selatan Bali Ancam Keseimbangan Ekologis

Ekskavator membuka lahan di tengah kawasan hutan
Aktivitas pembukaan lahan menggunakan ekskavator di kawasan hutan yang mulai digunduli

Ungasan, Bali, jika berjalan di wilayah Ungasan dan Uluwatu saat ini, pemandangan alat berat lalu-lalang, ekskavator membabat hutan, dan proyek pembangunan yang menjulang semakin mudah ditemui. 

 

Sejak pariwisata kembali bergeliat pasca-pandemi COVID-19, aktivitas pembangunan di kawasan selatan Bali meningkat drastis.

Ancaman Ketersediaan Air dan Udara Bersih

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran jangka panjang, terutama terkait ketersediaan udara dan air bersih, serta persoalan pengelolaan sampah yang hingga kini masih menjadi tantangan utama. 

 

Ekspansi pembangunan yang tidak terkendali berpotensi mengancam kawasan hijau tersisa di wilayah yang telah padat secara demografis dan aktivitas ekonomi ini.

Data Tutupan Hutan dan Deforestasi

Beberapa ekskavator beroperasi membuka lahan baru untuk proyek pembangunan
Beberapa Ekskavator membuka lahan baru untuk mendukung proyek pembangunan besar yang sedang berjalan

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023 mencatat tutupan hutan di Bali hanya tersisa 20%, jauh di bawah ambang batas minimal ideal sebesar 30%. 

 

Meskipun angka deforestasi secara kuantitatif tergolong rendah (46 hektare), konsentrasi pembangunan di kawasan selatan berisiko memperparah defisit ruang hijau secara keseluruhan.

Hotel dan Villa Mewah Mendominasi Wilayah Selatan

Ungasan dan Uluwatu kini menjelma menjadi kawasan primadona pengembangan hotel, villa mewah, dan pusat komersial. Sayangnya, laju pembangunan ini sering kali tidak disertai dengan pendekatan ekologi yang memadai. 

 

Kebijakan seperti penguatan pengelolaan sampah di sektor Hotel, Restoran, dan Kafe (HORECA) serta pembangunan infrastruktur “Bali Era Baru” kerap dinilai bertolak belakang dengan upaya pelestarian lingkungan.

Minimnya Regulasi dan Alih Fungsi Lahan

Sejumlah program mitigasi seperti Gerakan Bali Bersih Sampah dan penanaman mangrove memang telah digulirkan, namun belum diiringi dengan regulasi tegas mengenai alih fungsi lahan.

 

Kekosongan regulatif ini membuka ruang terjadinya perubahan tata guna lahan secara sporadis dan masif.

Dampak Ekologis yang Mengintai

Beach club baru di kawasan Ungasan yang beroperasi dekat pantai sejak 2024
Salah satu beach club di Ungasan yang baru mulai beroperasi pada tahun 2024, menawarkan pengalaman santai di dekat pantai

Jika tren pembangunan ini terus berlangsung tanpa kajian lingkungan yang matang dan menyeluruh, Bali berpotensi menghadapi berbagai dampak ekologis seperti:

 

  • Penurunan kualitas udara dan air
  • Meningkatnya risiko banjir akibat hilangnya daerah resapan
  • Konflik agraria dengan masyarakat adat

Rekomendasi Kebijakan

  1. Mengintegrasikan data spasial BPS dalam proses perencanaan tata ruang daerah.
  2. Memperkuat penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sebagaimana telah dilakukan di Kabupaten Karangasem.
  3. Mengalokasikan dana khusus untuk program reforestasi, sebagai tanggapan atas penurunan anggaran lingkungan di tingkat nasional.

Kesimpulan

Pembangunan pesat di wilayah selatan Bali, khususnya Ungasan dan Uluwatu, harus diarahkan dengan prinsip Tri Hita Karana keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas. 

 

Kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat adat, dan lembaga lingkungan menjadi elemen penting untuk menjaga keberlanjutan Pulau Dewata dari ancaman krisis ekologis yang tak dapat dipulihkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *