Kodi, salah satu wilayah di Sumba Barat Daya, dikenal akan keindahan alam dan kekayaan budayanya.
Dari Laguna Weekuri yang memikat, Batu Cincin yang ikonik, hingga kampung adat Ratenggaro yang mempesona, Kodi menyuguhkan pesona yang sulit dilupakan.
Namun, di balik keelokan tersebut, tersimpan pula beragam persoalan sosial yang memerlukan perhatian serius.
Di tengah realitas ini, hadir sosok Romo Christo Ngasi, Pr. imam Katolik di Gereja Santa Maria Assumpta, Homba Karipit, Kecamatan Kodi. Ia bukan sekadar pemuka agama, tetapi juga penjaga budaya, penulis, dan sahabat masyarakat.
Dikenal akrab dengan panggilan Pater Isto, Romo Christo telah mengabdi lebih dari satu dekade sebagai imam paroki.
Ia tidak hanya berkhotbah dari mimbar, tetapi juga hadir dalam denyut kehidupan masyarakat sehari-hari.
Ia tinggal di pastoran sederhana di tengah pedesaan yang hening, dikelilingi alam dan ternak. Kamarnya tanpa AC atau kipas angin, namun tetap sejuk berkat tiupan angin dari ventilasi bambu.
Kesederhanaan itu mencerminkan semangat hidupnya: dekat dengan umat, bersahaja, dan penuh kasih.
Meski jadwal pastoralnya padat, Romo Christo selalu menyediakan waktu untuk menyambut tamu baik dari kalangan umat, peneliti budaya, hingga para pelancong yang ingin memahami Sumba lebih dalam.
Sikapnya yang ramah, terbuka, dan rendah hati meninggalkan kesan mendalam pada siapa pun yang menjumpainya.
Tak hanya sebagai pemimpin rohani, Romo Christo juga menjadi penghubung penting antara kearifan lokal Sumba dan dunia modern.
Pada Oktober 2019, ia mendampingi Agnes, seorang penulis dan peneliti budaya asal Jerman dari kanal Meine Welt, dalam proyek riset mengenai dua konsep adat penting Warat Wona dan Wona Kaka.
Romo Christo memfasilitasi wawancara, mempertemukan Agnes dengan tokoh adat, serta menjelaskan simbol-simbol dan filosofi lokal secara kontekstual.
Baginya, agama dan budaya bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua kekuatan yang bisa saling memperkaya.
Baca juga:
🔗Theresia: Perempuan Manggarai yang Menyulam Harapan Lewat Pendidikan
Ia juga dikenal aktif dalam berbagai kegiatan sosial, khususnya terkait isu-isu kemanusiaan di Nusa Tenggara Timur.
Salah satu inisiatifnya yang paling menonjol adalah kampanye “Stop Bajual Orang”, gerakan menentang praktik perdagangan manusia yang pernah marak di wilayah ini.
Komitmennya terhadap pelestarian budaya tidak berhenti pada tindakan, Romo Christo juga menuangkannya lewat tulisan.
Salah satu karya sastranya adalah novel Mata Likku, yang mengisahkan kehidupan masyarakat Loura, sebuah wilayah adat di Sumba Barat Daya.
Lewat kisah tersebut, ia menyampaikan nilai-nilai moral, perjuangan hidup, serta dinamika sosial yang kerap luput dari sorotan.
Tulisan-tulisannya bukan hanya fiksi, tetapi menjadi bentuk dokumentasi narasi lokal upaya menyimpan jejak budaya dalam bentuk abadi, sekaligus warisan untuk generasi muda yang kian tenggelam dalam arus modernitas.
Baca juga:
🔗 Desa Tenganan Pegringsingan: Menjaga Warisan Leluhur di Tengah Arus Modernisasi
Bagi masyarakat setempat, Romo Christo bukan hanya seorang imam, tapi juga sahabat sejati dan pendengar yang baik.
Ia rutin hadir dalam kegiatan sosial, mendampingi warga yang sakit, serta membina anak-anak dan remaja dalam pembentukan iman dan karakter.
Kehadirannya yang konsisten, kepeduliannya terhadap tradisi, serta ketulusannya dalam melayani membuatnya begitu dicintai dan dihormati.
Dalam pribadi Romo Christo Ngasi, Pr., tergambar sosok pemimpin spiritual yang mampu mengintegrasikan nilai iman, budaya, dan literasi secara utuh.
Di tanah Kodi yang sunyi dan sering terlupakan, ia menjadi cahaya yang tenang—namun terus memancarkan terang bagi banyak orang.