Di tengah hiruk-pikuk pasar tradisional, derap langkah wisatawan di kawasan pariwisata, atau rutinitas warga Bali yang sibuk bekerja, selalu ada keheningan yang mengalun lembut: sesaji kecil berisi bunga segar, daun janur, dan asap dupa yang mengepul perlahan.
Sajen, atau banten dalam bahasa Bali, bukan sekadar ritual agama, melainkan napas spiritual yang menghubungkan manusia, alam, dan Sang Pencipta dalam setiap detik kehidupan.
Setiap pagi, sebelum matahari terbit, umat Hindu Bali telah sibuk menyusun canang sari sesajen harian yang menjadi simbol terima kasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam sebuah bokor anyaman daun kelapa, terangkai komponen-komponen sarat makna:
“Canang sari dibuat dengan hati yang bersih. Saat menyusunnya, kita tak hanya memberi, tapi juga mengingatkan diri untuk selalu rendah hati,” ujar Nyoman Sari, seorang ibu rumah tangga di Denpasar.
Di Pasar Badung, Denpasar, seorang pedagang daging dengan cekatan menata dagangannya. Di sudut gerobaknya, canang sari terletak di antara tumpukan daging. Asap dupanya menyembul perlahan, bercampur dengan aroma buah tropis.
“Ini bentuk terima kasih kami. Dagangan lancar, pembeli ramah, semua karena berkah-Nya,” katanya sambil tersenyum.
Tak hanya di pasar, sajen juga hadir di kantor, toko, bahkan kafe modern. Canang sari diletakkan di dekat pintu masuk atau di dalam ruangan.
“Meski lingkungan kerja saya modern, tradisi ini tetap saya jalani. Ini cara menjaga identitas,” tutur Gede, seorang pegawai kafe.
Sajen bukanlah ritual tanpa makna. Ia adalah perwujudan dari Tri Hita Karana, filosofi Bali tentang harmoni dalam tiga hubungan:
“Saat kami meletakkan sesajen di sawah, itu juga merupakan permohonan agar ekosistem tetap seimbang. Burung dan serangga pun diperbolehkan mengambil bagian dari sajen itu,” jelas Wayan Suyasa, seorang petani di Gianyar.
Tradisi ini tak lekang oleh waktu. Di Bali, kaum muda tetap antusias belajar membuat canang sari. Kelas-kelas singkat kerap diadakan di komunitas, bahkan kontennya viral di media sosial.
“Saya bangga bisa mengajari turis membuat canang. Ini cara memperkenalkan budaya kami dengan pendekatan kekinian,” kata Putu Ayu, kreator konten budaya Bali.
Namun, tantangan tetap ada. Bahan-bahan tradisional seperti bunga kamboja dan daun janur kini semakin mahal. Sebagian warga pun mulai beralih ke bunga plastik demi efisiensi.
“Kami berusaha tetap memakai bahan alami. Kalau ganti plastik, esensi persembahan itu hilang,” tegas Made Muliarta, seorang pemuka adat di Ubud.
Bagi wisatawan, sajen sering kali menjadi objek foto eksotis. Namun, masyarakat Bali berharap tradisi ini tetap dihormati:
“Sajen itu sakral. Saat turis menghargainya, kami merasa budaya kami dihargai,” ucap Komang Sudiarsa, seorang pemandu wisata.
Di tengah gempuran modernisasi, sajen tetap bertahan sebagai bahasa universal rasa syukur orang Bali. Ia mengajarkan bahwa kemajuan tak harus menghapus tradisi, dan spiritualitas bisa hidup dalam kesederhanaan.
Seperti asap dupa yang tak terlihat namun harum aromanya, nilai-nilai sajen terus meresap dalam jiwa masyarakat Bali, dari generasi ke generasi.
“Selama gunung ada, laut mengalir, dan manusia masih bernapas, sajen akan tetap ada. Ini cara orang Bali mengatakan ‘terima kasih’ pada semesta.”