Sajen: Simbol Rasa Syukur yang Menyatu dalam Keseharian Masyarakat Bali

Sesajen dan dupa menyala di pasar tradisional Bali saat penjual daging sibuk melayani pembeli.
Aroma sesajen dan dupa menyatu dengan hiruk-pikuk pasar tradisional Bali, di tengah kesibukan penjual daging yang melayani pembeli dengan sigap

Di tengah hiruk-pikuk pasar tradisional, derap langkah wisatawan di kawasan pariwisata, atau rutinitas warga Bali yang sibuk bekerja, selalu ada keheningan yang mengalun lembut: sesaji kecil berisi bunga segar, daun janur, dan asap dupa yang mengepul perlahan.

Sajen, atau banten dalam bahasa Bali, bukan sekadar ritual agama, melainkan napas spiritual yang menghubungkan manusia, alam, dan Sang Pencipta dalam setiap detik kehidupan.

Canang Sari: Mahakarya Miniatur Rasa Syukur

Setiap pagi, sebelum matahari terbit, umat Hindu Bali telah sibuk menyusun canang sari sesajen harian yang menjadi simbol terima kasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam sebuah bokor anyaman daun kelapa, terangkai komponen-komponen sarat makna:

  • Porosan dari daun sirih, kapur, dan pinang sebagai lambang Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa)

  • Bunga berwarna-warni yang ditata sesuai arah mata angin:
    • Merah (Selatan – Dewa Brahma)
    • Putih (Timur – Dewa Iswara)
    • Kuning (Barat – Dewa Mahadewa)
    • Biru atau hijau (Utara – Dewa Wisnu)

  • Jajan dan buah-buahan kecil sebagai persembahan hasil bumi

  • Dupa yang menyala, mengantarkan doa melalui asap ke alam spiritual

“Canang sari dibuat dengan hati yang bersih. Saat menyusunnya, kita tak hanya memberi, tapi juga mengingatkan diri untuk selalu rendah hati,” ujar Nyoman Sari, seorang ibu rumah tangga di Denpasar.

Ritual yang Menyatu dengan Aktivitas Duniawi

Asap dupa dan sesajen di pasar tradisional Bali menciptakan suasana sakral di tengah kesibukan sehari-hari
Sesajen harum dan asap dupa menyala menghiasi pasar tradisional Bali, mencerminkan keseimbangan antara spiritualitas dan kehidupan harian

Di Pasar Badung, Denpasar, seorang pedagang daging dengan cekatan menata dagangannya. Di sudut gerobaknya, canang sari terletak di antara tumpukan daging. Asap dupanya menyembul perlahan, bercampur dengan aroma buah tropis.

“Ini bentuk terima kasih kami. Dagangan lancar, pembeli ramah, semua karena berkah-Nya,” katanya sambil tersenyum.

Tak hanya di pasar, sajen juga hadir di kantor, toko, bahkan kafe modern. Canang sari diletakkan di dekat pintu masuk atau di dalam ruangan.

“Meski lingkungan kerja saya modern, tradisi ini tetap saya jalani. Ini cara menjaga identitas,” tutur Gede, seorang pegawai kafe.

Filosofi Tri Hita Karana: Keseimbangan yang Dirawat

Sajen bukanlah ritual tanpa makna. Ia adalah perwujudan dari Tri Hita Karana, filosofi Bali tentang harmoni dalam tiga hubungan:

  1. Palemahan (hubungan dengan alam)
    Bunga dan hasil bumi dalam sajen mengingatkan manusia untuk tidak serakah.

  2. Pawongan (hubungan dengan sesama)
    Sesajen di tempat umum menjadi simbol kerukunan.

  3. Parahyangan (hubungan dengan Tuhan)
    Dupa yang mengepul menjadi jembatan doa manusia dengan alam spiritual.

“Saat kami meletakkan sesajen di sawah, itu juga merupakan permohonan agar ekosistem tetap seimbang. Burung dan serangga pun diperbolehkan mengambil bagian dari sajen itu,” jelas Wayan Suyasa, seorang petani di Gianyar.

Dari Dapur hingga Medsos: Sajen di Era Modern

Seorang ibu penjual sesajen sedang memasukkan sesajen ke dalam plastik di pasar tradisional Bali.
Seorang ibu dengan tenang menata sesajen ke dalam plastik, menjajakan persembahan harian bagi masyarakat yang hendak bersembahyang

Tradisi ini tak lekang oleh waktu. Di Bali, kaum muda tetap antusias belajar membuat canang sari. Kelas-kelas singkat kerap diadakan di komunitas, bahkan kontennya viral di media sosial.

“Saya bangga bisa mengajari turis membuat canang. Ini cara memperkenalkan budaya kami dengan pendekatan kekinian,” kata Putu Ayu, kreator konten budaya Bali.

Namun, tantangan tetap ada. Bahan-bahan tradisional seperti bunga kamboja dan daun janur kini semakin mahal. Sebagian warga pun mulai beralih ke bunga plastik demi efisiensi.

“Kami berusaha tetap memakai bahan alami. Kalau ganti plastik, esensi persembahan itu hilang,” tegas Made Muliarta, seorang pemuka adat di Ubud.

Etika Menyikapi Sesajen: Bagi Warga dan Wisatawan

Bagi wisatawan, sajen sering kali menjadi objek foto eksotis. Namun, masyarakat Bali berharap tradisi ini tetap dihormati:

  • Hindari menginjak atau memindahkan sajen sembarangan

  • Jangan mengambil bunga atau komponennya sebagai cenderamata

  • Jika melihat prosesi pembuatan sajen, mintalah izin sebelum merekam

“Sajen itu sakral. Saat turis menghargainya, kami merasa budaya kami dihargai,” ucap Komang Sudiarsa, seorang pemandu wisata.

Penutup: Sajen sebagai Identitas yang Tak Pernah Padam

Di tengah gempuran modernisasi, sajen tetap bertahan sebagai bahasa universal rasa syukur orang Bali. Ia mengajarkan bahwa kemajuan tak harus menghapus tradisi, dan spiritualitas bisa hidup dalam kesederhanaan.

Seperti asap dupa yang tak terlihat namun harum aromanya, nilai-nilai sajen terus meresap dalam jiwa masyarakat Bali, dari generasi ke generasi.

“Selama gunung ada, laut mengalir, dan manusia masih bernapas, sajen akan tetap ada. Ini cara orang Bali mengatakan ‘terima kasih’ pada semesta.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *