Sebuah foto lawas tersimpan rapi di antara dokumen-dokumen penting Adeni Muhan. Di sana, terlihat sosoknya sebagai taruna Akpol 1990, mengenakan seragam kebanggaan, wajah penuh semangat, dan raut gagah khas calon pemimpin.
Kini, 34 tahun kemudian, foto itu menjadi saksi bisu perjalanan panjangnya dari taruna polisi hingga purnawirawan Brigadir Jenderal Polisi, lalu melangkah ke panggung politik sebagai Koordinator Wilayah Partai Hanura.
Bagi Adeni, setiap lipatan waktu dalam hidupnya adalah pelajaran tentang komitmen, keberanian mengambil keputusan, dan tekad untuk tak pernah berhenti belajar.
Lulus dari Akpol pada 1990, Adeni Muhan memilih Korps Brigade Mobil (Brimob) sebagai medan pengabdian pertamanya. Karirnya menanjak cepat.
Ia pernah menjabat sebagai Kasat Brimob dan Karo Ops Polda Sulsel jabatan yang menguji ketegasan dan kecerdasan taktisnya.
Di tengah dinamika operasi lapangan, Adeni belajar satu hal kepemimpinan bukan sekadar memberi perintah, tapi tentang keberanian bertanggung jawab.
“Banyak pemimpin hari ini ragu mengambil keputusan, bahkan cenderung ‘buang badan’ karena takut menghadapi konsekuensi,”
ujarnya dalam suatu kesempatan. Prinsip ini ia pegang teguh, terutama saat memimpin operasi yang sarat risiko.
Karir puncaknya sebagai Brigadir Jenderal Polisi mungkin tak pernah ia bayangkan saat masih menjadi taruna, tapi bagi Adeni, gelar hanyalah simbol. Yang utama, kata dia, adalah:
“kapasitas diri yang terus diasah, meski gelar akademis sudah diraih.”
🔗 Baca juga:
William Asnandar Simanjuntak: Dari Polres hingga Ruang Siber
Kecintaannya pada Korps Brimob tak hanya tercermin dalam pengalaman lapangan, tapi juga dalam ranah akademis.
Adeni menghasilkan disertasi doktor berjudul “Transformasi Organisasi pada Korps Brimob Polri” sebuah karya yang lahir dari keprihatinannya akan tantangan modernisasi institusi.
“Organisasi harus berubah, tapi nilai inti seperti disiplin dan loyalitas tak boleh luntur,” tegasnya.
Disertasinya ini bukan sekadar teori, melainkan refleksi pengalaman langsung memimpin di lapangan. Bagi Adeni, transformasi adalah jalan untuk memastikan Brimob tetap menjadi tulang punggung penegakan hukum yang tangguh.
🔗 Baca juga:
Kisah Irjen Pol Waris Agono, Kapolda Maluku Utara yang Berpijak pada Doa Ibu
Pada April 2024, Adeni Muhan resmi memasuki babak baru pengabdian: ia dilantik sebagai Koordinator Wilayah 9 (Korwil 9) DPP Partai Hanura, membawahi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Jabatan ini ia terima dengan kesadaran penuh akan kompleksitas politik Indonesia. Namun, sebagai mantan perwira tinggi yang pernah bertugas di berbagai wilayah, Adeni yakin pengalamannya bisa menjadi modal berharga.
“Ini tanggung jawab besar. Saya ingin kebijakan yang dirumuskan berpihak pada rakyat kecil, terutama di daerah terpencil,”
ujarnya. Visinya jelas: membawa prinsip transparansi dan akuntabilitas dari dunia kepolisian ke ranah politik. Baginya, politik harus menjadi sarana pelayanan, bukan ajang kekuasaan semata.
🔗 Baca juga:
Kapolda dan Kajati Maluku Utara Perkuat Sinergi Penegakan Hukum
Di setiap kesempatan, Adeni kerap berbagi mantra hidupnya:
“Jangan pernah berhenti belajar, karena gelar tak selalu mencerminkan kapasitas.”
Pesan ini ia sampaikan dalam acara wisuda, di tengah generasi muda yang mungkin terjebak dalam euforia ijazah. Bagi sang jenderal, pendidikan adalah proses seumur hidup.
Ia sendiri membuktikannya dengan meraih gelar doktor di tengah kesibukan tugas, lalu kini mengasah kemampuan baru di dunia politik.
“Ketika kita berhenti belajar, saat itulah kita mulai tertinggal,”
katanya. Prinsip ini ia terapkan bahkan dalam peran barunya di Partai Hanura. Adeni aktif mengkaji isu sosial-ekonomi di wilayah Sulawesi, menyusun strategi berdasarkan data, dan tak segan berkonsultasi dengan ahli demi merumuskan kebijakan yang tepat.
Di luar seragam dinas dan jas politik, Adeni Muhan juga dikenal dengan nama “Puang Tin Dizzz” sebuah sapaan akrab yang mencerminkan kedekatannya dengan masyarakat Sulawesi. Nama ini, yang sering ia gunakan dalam kegiatan sosial, menjadi simbol kerendahan hatinya.
“Saya tetap manusia biasa yang ingin mendengar langsung keluhan rakyat,”
ujarnya. Baginya, menjadi “Puang Tin Dizzz” adalah cara menjaga integritas: tetap membumi meski pernah berada di puncak hirarki kepolisian.
Transisi dari dunia militer ke politik bukan tanpa risiko. Adeni menyadari betapa mudahnya citra seorang purnawirawan ternoda oleh dinamika politik praktis. Namun, ia bertekad menjaga reputasi yang telah dibangun puluhan tahun.
“Saya tak ingin pengalaman di kepolisian hanya jadi nostalgia. Ini harus menjadi pondasi untuk membangun kebijakan yang pro-rakyat,” tegasnya.
Kisah Adeni Muhan adalah gambaran sempurna tentang “pengabdian tanpa batas.” Dari taruna Akpol, pejuang di garis depan Brimob, doktor organisasi, hingga politisi setiap fase hidupnya dijalani dengan totalitas.
“Saya mungkin sudah tak lagi memakai seragam, tapi jiwa pengabdian ini akan tetap hidup,”
ujarnya. Dan di balik senyumnya, tergambar keyakinan: selama masih ada kesempatan melayani, ia akan terus melangkah dengan gagah, seperti taruna muda di foto itu.