Tahun 2015. Di tengah jalan panjang perjalananku sebagai seorang fotografer, kaki ini membawa diri ke Ternate sebuah pulau di timur negeri, di mana alam masih berbicara dengan bahasa yang belum sepenuhnya dijinakkan oleh manusia. Aku datang bukan untuk mencari siapa-siapa, melainkan untuk menemukan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terbiasa berbincang dengan sunyi.
Di kaki Gunung Gamalama, terbentang Danau Tolire Besar. Ia tidak memanggil dengan suara, melainkan dengan getaran lembut yang hanya bisa dirasakan oleh jiwa-jiwa yang tenang. Saat pertama kali aku melihatnya, tak ada keramaian. Tak ada deretan kios oleh-oleh. Tak ada antrian untuk swafoto. Hanya aku, danau, dan waktu yang terasa melambat.
Aku berdiri di tepinya. Kamera tergantung di leherku, tapi aku tahu, momen ini lebih dulu perlu dinikmati dengan mata dan hati. Angin berbisik pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua yang gugur perlahan. Pepohonan berdiri tegak seperti penjaga sunyi, dan pantulannya di atas air yang hijau pekat menciptakan lukisan hidup nyaris terlalu sempurna untuk disentuh.
Seekor buaya sempat muncul di kejauhan. Diam, seperti menyadari kehadiranku, tapi tak terusik. Aku pun memilih untuk tidak banyak bergerak, seolah bersepakat dengan alam untuk saling menghormati batas. Ada rasa haru yang muncul, bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa aku hanyalah tamu sementara buaya itu, dan alam sekitarnya, adalah tuan rumah sejati.
Tak ada dialog, tak ada pelukan, tak ada sapa. Tapi justru di situlah aku menemukan makna. Bahwa perjalanan bukan soal berapa banyak tempat yang dikunjungi, melainkan seberapa dalam kita bisa merasakan hadirnya diri sendiri di suatu tempat. Dan Tolire, dengan diamnya, mengajarkanku tentang kehadiran. Tentang bagaimana alam bisa menjadi cermin paling jujur untuk melihat siapa kita sebenarnya, saat tak ada satu pun yang kita tampilkan untuk dunia luar.
Kini, hampir sepuluh tahun berlalu sejak foto itu kuambil. Dunia telah berubah. Traveling menjadi gaya hidup, tempat-tempat tersembunyi menjadi viral, dan sunyi tak lagi semudah dulu ditemukan. Mungkin Danau Tolire pun kini telah dipoles oleh tangan manusia, diberi pagar, diberi petunjuk arah, atau bahkan dijadikan spot swafoto.
Tapi bagiku, Tolire akan selalu seperti dulu: ruang sakral tempat cahaya jatuh lembut di atas permukaan air, dan angin berbicara dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang datang tanpa gaduh.
Dan setiap kali aku memandang foto itu pantulan pepohonan, warna hijau yang tenang, langit yang merunduk lembut aku tahu, ada bagian dari diriku yang masih tinggal di sana. Di sudut dunia yang tenang, di danau yang tidak pernah bicara, tapi menyimpan segala cerita.