Mekare-kare: Menyaksikan Keberanian dan Filosofi Hidup dalam Tradisi Perang Pandan Tenganan

Bekas luka di tubuh Puja Astawa sebagai bukti partisipasinya dalam tradisi Perang Pandan di Bali.
Bekas luka ini menjadi saksi partisipasi Puja Astawa dalam tradisi Perang Pandan, sebagai wujud pengabdian tulus dalam semangat ngayah. (Foto: Dokumentasi)

Seniman Bali, Puja Astawa, yang turut melestarikan tradisi ini, menegaskan bahwa Mekare-kare mengandung pelajaran hidup yang mendalam.

“Perang Pandan ini sejatinya merupakan cara untuk melatih diri mengendalikan amarah dan menerima rasa sakit, karena hidup ini memang berjalan sebagaimana adanya,” jelas Puja Astawa.

Beliau menekankan bahwa tradisi ini mengajarkan nilai pengendalian diri, khususnya saat dihadapkan pada rasa sakit dan gejolak emosi.

“Di sinilah kita dilatih untuk menahan amarah, meskipun tubuh sedang menanggung rasa sakit yang luar biasa,” tambahnya.

Baca juga:
🔗 Puja Astawa: Kreator Hiburan dan Pembuat Film Tradisi Bali


Ritual Sakral di Jantung Budaya Bali Aga

Bali, dengan kekayaan budaya dan tradisinya yang memukau, terus menarik wisatawan dari seluruh penjuru dunia untuk mempelajari dan menghayati makna filosofis di baliknya.

Salah satu tradisi unik yang digelar pada 22–23 Juni 2025 adalah Mekare-kare atau Perang Pandan.

Sebuah warisan budaya turun-temurun dari masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem.Tradisi ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan ritual sakral penuh makna.

Arena Keberanian di Tenganan Pegringsingan

Berlokasi di jantung Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Mekare-kare mempertontonkan duel antara dua pemuda desa.

Namun, senjata yang digunakan bukanlah senjata tajam biasa, melainkan daun pandan berduri yang digenggam kuat, sementara tangan lainnya memegang perisai dari anyaman rotan sebagai pelindung.

Para peserta, yang terdiri dari berbagai usia mulai dari anak-anak hingga orang dewasa mengenakan pakaian adat khas Tenganan. Suasana ritual semakin khidmat dengan iringan musik sakral gamelan selonding.

Puja Astawa ikut dalam tradisi Perang Pandan, sebagai wujud pengabdian tulus dalam semangat ngayah

Lebih dari Sekadar Adu Fisik: Makna di Baliknya

Tujuan utama Mekare-kare tidak berhenti pada pertarungan fisik semata. Ia merupakan bentuk penghormatan kepada Dewa Indra, sang dewa perang dalam kepercayaan Hindu, serta penghormatan kepada para leluhur.

Tradisi ini juga menjadi ungkapan rasa syukur atas berkat yang diterima, serta doa keselamatan untuk seluruh warga desa.

Partisipasi Puja Astawa mencerminkan semangat “ngayah”, yakni pengabdian tanpa pamrih dalam menjaga dan melestarikan tradisi suci. Konsep ngayah inilah yang menjadi roh penggerak keberlanjutan budaya Bali dari generasi ke generasi.


Baca juga:
🔗 Perempuan Tenganan Pegringsingan dalam Melestarikan Sosial Budaya Leluhur


Simbol Keberanian, Kedewasaan, dan Solidaritas

Hakikat Mekare-kare sarat dengan simbolisme:

  1. Keberanian: Menunjukkan keberanian dalam menghadapi rasa sakit dari sabetan pandan.

  2. Kedewasaan: Sebagai bagian dari proses pendewasaan diri, terutama bagi para remaja yang mengikuti ritual.

  3. Kebersamaan: Mempererat solidaritas antar warga dan memperkuat jalinan komunitas.

Penutup

Tradisi Mekare-kare di Tenganan Pegringsingan merupakan mahakarya budaya Bali yang hidup dan terus bernapas.

Ia bukan sekadar atraksi visual yang menakjubkan, tetapi merupakan cerminan filosofi hidup masyarakat Bali Aga yang menekankan pada pengendalian diri, penerimaan, rasa syukur, serta bakti kepada leluhur dan Dewa.

Dua peserta Perang Pandan saling berhadapan dalam tradisi sakral di Desa Tenganan Pegringsingan, Bali.
Perang Pandan sejatinya merupakan sarana untuk melatih diri dalam mengendalikan amarah dan belajar menerima rasa sakit sebagai bagian dari kehidupan. (Foto: Dokumentasi)

Melalui semangat ngayah, seperti yang ditunjukkan oleh Puja Astawa dan seluruh masyarakat Tenganan, tradisi sakral ini tetap terjaga, menjadi warisan budaya tak ternilai yang memperkaya khazanah Nusantara dan memikat dunia.

Sebagai bagian dari masyarakat Hindu Bali, menjaga nyala tradisi seperti Mekare-kare inilah yang membuat identitas budaya tetap hidup dan bersinar.

Baca juga:
🔗 Perang Pandan Bali: Keindahan dan Kegemilangan Tradisi Leluhur

Bali sejak dahulu memang liat akan budaya dan tradisi yang banyak membuat orang-orang kagum bahkan banyak para wisatawan mancanegara dan domestik ingin mempelajari serta mendalami setiap makna dari tradisi dan budaya di pulau ini.

Hari ini pada 22 Juni 2025 tradisi budaya bali aga yang turun temurun dari dulu dilaksanakan di desa Tenganan pegringsingan Bali yaitu perang Pandan atau Mekare-kare.

Salah satu tradisi 2 orang melakukan pertarungan dengan menggunakan daun Pandan berduri di arena desa adat.

Tujuan: Menghormati Dewa Indra dan para leluhur, serta sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan keselamatan.

Lokasi: Desa Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali.
Pelaksanaan: Tradisi ini melibatkan para remaja laki-laki yang saling bertarung menggunakan gagang daun pandan berduri sebagai senjata.

Peserta: Para remaja laki-laki dari berbagai usia, dari anak-anak hingga dewasa.
Sarana: Daun pandan berduri, perisai dari anyaman rotan, pakaian adat Tenganan, dan gamelan selonding sebagai pengiring.

Makna: Perang Pandan bukan sekadar pertempuran, tetapi juga simbol keberanian, kedewasaan, dan kebersamaan.

Dalam hal ini ada waktu orang luar desa bisa ikut ambil andil dalam acara ini salah satunya adalah artis Bali Puja Astawa yang mengambil peranan di tradisi dan budaya.

Ini adalah tradisi Bali dan saya sebagai masyarakat Hindu Bali ..ngayah namanya dalam bahasa Hindu. Artinya turut menjadi bagian melestarikan tradisi sakral Hindu Bali, imbuh Puja Astawa.

Perang Pandan ini sebenarnya adalah bagian bagaimana kita bisa mengendalikan amarah serta menerima rasa sakit itu karena hidup ini berjalan seperti adanya.

Perang pandan ini adalah dimana kita mampu mengendalikan amarah ketika menerima rasa yang sangat sakit, imbuh Puja Astawa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *