Di tengah gemerlap kehidupan malam Bali, dua sosok perempuan asal Buleleng, Bali Utara, duduk bersandar di meja makan sebuah warung tradisional. Suara tawa mereka bersahutan dengan riuh percakapan turis asing yang lalu-lalang.
Kadek (28) dan Putu (28), dua sahabat sejak SMP ini, bukan sekadar “perempuan Bali” yang memenuhi stereotip seperti menikah muda, mengurus keluarga, atau tunduk pada tekanan sosial.
Mereka adalah gambaran generasi baru yang berani mengambil jalan berbeda mengejar kemandirian, membuka wawasan, dan menolak dikurung oleh ekspektasi budaya.
Baca juga:
🔗 Perempuan Bali di Tengah Arus Modernisasi
Sejak 2018, Kadek telah menjelajahi dunia melalui pekerjaannya di kapal pesiar. Kemampuan bahasa Inggrisnya yang fasih membuatnya percaya diri berinteraksi dengan wisatawan mancanegara.
“Bekerja di kapal pesiar bukan sekadar mencari uang, tapi juga belajar tentang kehidupan yang lebih luas,” ujarnya, matanya berbinar saat bercerita tentang pengalamannya bertemu orang dari berbagai belahan dunia.
Kesibukannya tak membuatnya lupa pada keluarga. Dengan bangga, ia menceritakan bagaimana ia berhasil membiayai pendidikan adiknya hingga meraih gelar sarjana.
“Ini kebahagiaan terbesar saya. Bisa membantu keluarga sambil memenuhi mimpi sendiri,” tambahnya.
Kini, sembari menunggu kontrak kerja berikutnya di kapal pesiar, ia menikmati hidup santai di Sanur dengan bersepeda, menyelam, atau menyantap jagung bakar di pasar malam tradisional. Pertanyaan tentang pernikahan? Kadek hanya tersenyum.
“Saya belum merasa perlu terburu-buru. Banyak hal yang ingin saya capai sebelum berkomitmen pada pernikahan,” katanya tegas.
Baca juga:
🔗 Pasar Malam Sanur: Surga Kuliner yang Menghangatkan Hati
Di seberang Kadek, Putu menyampaikan kisah serupa dengan nada lebih filosofis. Selama enam tahun terakhir, ia bekerja di Jepang negeri yang ia puji karena masyarakatnya menghargai privasi dan fokus pada kehidupan individu.
“Di sini, tak ada yang bertanya ‘kapan menikah?’ atau ‘sudah punya pacar?’. Mereka lebih menghormati pilihan hidup orang lain,” ujarnya, terkekeh oleh perbandingan dengan tekanan yang kerap ia terima dari keluarga di Bali.
Baginya, Jepang bukan sekadar tempat mencari uang, tapi ruang untuk tumbuh sebagai pribadi yang mandiri. “Saya belajar menghargai kesendirian tanpa merasa terasing. Di Bali, perempuan 28 tahun yang masih single sering dianggap ‘terlambat’,” ujarnya dengan nada getir.
Meski begitu, Putu tak menampik kerinduannya pada kampung halaman. Ia hanya berharap keluarga bisa memahami bahwa kebahagiaan tak selalu harus mengikuti skenario tradisional.
Baca juga:
🔗 Yuesta: Liku-Liku Merajut Asa di Antara Dua Negeri
Kadek dan Putu bukan sekadar sahabat mereka adalah cermin yang saling menguatkan. Sejak SMP, keduanya telah berbagi mimpi untuk keluar dari “zona nyaman” budaya Bali.
“Kami sering berbicara tentang keinginan melihat dunia, mandiri secara finansial, dan tidak ingin hidup hanya untuk memenuhi harapan orang lain,” ungkap Kadek.
Meski jarak memisahkan Kadek kerap hilir-mudik di laut lepas, sementara Putu menghabiskan waktu di Jepang komunikasi mereka tetap terjalin.
Setiap kali pulang ke Bali, mereka menyempatkan bertemu dengan berbagi cerita tentang tantangan bekerja di luar negeri, strategi menghadapi tekanan keluarga, atau sekadar tertawa bersama menikmati keindahan Bali yang tak pernah lekang oleh waktu.
Baca juga:
🔗 19 Tahun dan Sebuah Persahabatan yang Tak Pernah Retak
Kisah Kadek dan Putu bukan sekadar tentang “perempuan Bali yang sukses bekerja di luar negeri”.
Lebih dari itu, mereka mewakili gelombang perubahan di kalangan generasi muda Indonesia khususnya perempuan yang mulai menolak dikte budaya tentang pernikahan dini dan peran domestik.
Keduanya membuktikan bahwa kemandirian finansial, pendidikan, dan pengalaman global bisa menjadi senjata untuk meraih kebebasan menentukan jalan hidup.
Di tengah hingar-bingar modernitas, mereka tetap menjunjung akar budaya Bali. Kadek masih rajin menyungsung upacara di pura keluarga, sementara Putu tak pernah lupa mengirimkan canang sari untuk orangtuanya meski dari jauh.
Bagi mereka, “melawan tradisi” bukan berarti membuang nilai leluhur, tetapi mencari keseimbangan antara identitas budaya dan hak untuk memilih.
“Kami mencintai Bali, tapi kami juga ingin hidup tanpa dibelenggu rasa takut ‘tidak cukup baik’ hanya karena belum menikah,” tutup Putu.
Dan di meja makan itu, kedua sahabat ini kembali tertawa seolah menyepakati bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika seseorang bisa berdiri tegak di antara dua dunia: akar budaya yang kokoh dan sayap kebebasan yang terbang ke mana pun ia mau.
Baca juga:
🔗 Makna Bunga dalam Doa: Spiritualitas Hindu Bali