Di balik hiruk-pikuk Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, puluhan orang berdiri berjajar di area kedatangan.
Di tangan mereka tergenggam papan bertuliskan nama-nama seperti “Mr. Smith”, “Familia Tanaka”, atau “Gruppo Rossi”. Mereka bukan sekadar penjemput mereka adalah duta pertama yang menyambut wisatawan dengan senyum khas Bali.
Meski berseragam sederhana, mereka memikul tanggung jawab besar: membentuk kesan pertama tentang Indonesia.
Baca juga:
🔗 Warung Wardhani: Legenda Kuliner Nasi Pecel di Bali
Penjemput turis di Bali adalah profesi yang menuntut kesabaran, keramahan, dan ketangguhan. Tugas utamanya sederhana tapi esensial: menunggu kedatangan tamu, membantu dengan barang bawaan, dan mengantar mereka menuju hotel atau villa tujuan.
Sebagian besar bekerja lewat agen perjalanan atau hotel, sementara lainnya direkrut langsung oleh wisatawan melalui platform daring. Tidak jarang pula, mereka menjadi penolong pertama bagi turis yang kebingungan mengatur transportasi di tengah hiruk-pikuk pulau ini.
“Setiap hari rasanya seperti belajar geografi langsung dari sumbernya,” ujar Komang, penjemput turis yang telah bekerja selama 12 tahun. Bertemu orang dari berbagai negara menjadi pengalaman berharga baginya.
Ada tamu yang memberinya cendera mata khas negara asal, mengajaknya makan malam, hingga mengundangnya berkunjung ke Eropa.
Pengalaman ini juga mengasah kemampuannya berbahasa asing. “Dulu cuma bisa bilang ‘hello’, sekarang sudah bisa ngobrol santai dalam bahasa Inggris,” katanya, tersenyum lebar.
Baca juga:
🔗 Bali Peringkat Dua Dunia: Mengapa Pulau Dewata Tetap Jadi Primadona Wisata 2025
Namun, di balik senyum dan keramahan itu, tersimpan kisah-kisah pilu. Menunggu berjam-jam karena keterlambatan penerbangan sudah jadi bagian dari rutinitas. “Pernah saya menunggu enam jam karena pesawat dari Australia tertunda.
Tidak ada bayaran lembur,” tutur Made Putra, 45 tahun. Ada juga tamu yang membatalkan pesanan mendadak atau memberikan jadwal yang keliru.
Tantangan terberat, katanya, adalah menghadapi turis yang kelelahan atau salah paham. “Pernah ada yang melempar koper ke arah saya karena mengira saya penipu,” ujarnya lirih.
Meski kerap dianggap hanya sebagai “penjemput”, peran mereka sangat krusial. Wisatawan yang kehilangan bagasi, tersesat, atau stres karena macet, akan mengenang Bali dari bagaimana mereka disambut.
“Kalau kita ramah, mereka akan bilang Bali itu indah. Tapi kalau kita ikut marah, mereka pulang dengan cerita buruk,” tegas Putu. Para penjemput ini adalah wajah pertama Bali—cermin dari keramahan dan budaya pulau yang dijuluki surga dunia ini.
Baca juga:
🔗 Goa Gajah: Menyelami Sejarah dan Keindahan Situs Cagar Budaya di Bali
Di balik gemerlap destinasi wisata Bali, para penjemput turis berdiri teguh sebagai pahlawan tanpa sorotan kamera. Mereka mungkin tak pernah muncul di unggahan media sosial wisatawan, tapi peran mereka menjadi pondasi penting dalam pengalaman berlibur di Bali.
Lain kali Anda melewati pintu kedatangan, sempatkanlah tersenyum atau mengucapkan “terima kasih” kepada mereka yang setia menanti. Karena dari sanalah, cinta pertama pada Bali sering kali dimulai.
Baca juga:
🔗 Jalan-Jalan ke Sumbawa: Pesona Keindahan Pulau yang Tersembunyi di Indonesia